Harmoni dan Sejarah Bisnis Tionghoa & Pribumi di Indonesia

Penulis:
Harry Waluyo,
Pengamat Ekonomi Kreatif

Ilustrasi dan Editor:
Coach Margetty Herwin 

Strategi Kolaboratif dan Prinsip Bisnis Tionghoa:
Inspirasi Membangun Kekuatan Bisnis di Indonesia

Pendahuluan

Sejak abad ke-17, komunitas Tionghoa telah memainkan peran penting dalam perkembangan dunia bisnis di Indonesia. Dalam lintasan sejarah yang panjang, model kolaborasi antara pebisnis Tionghoa dan Non-Tionghoa terus berkembang mengikuti dinamika sosial, ekonomi, dan politik. Di sisi lain, prinsip-prinsip bisnis khas Tionghoa, yaitu Cengli, Cincai, dan Cuan, turut membentuk fondasi etika dan strategi bisnis yang kuat.

Artikel ini membahas dua aspek penting: evolusi model bisnis kolaboratif dan prinsip-prinsip inti dalam etos bisnis Tionghoa—serta bagaimana keduanya bisa menjadi referensi praktis untuk membangun bisnis berkelanjutan di era modern.


1. Evolusi Model Bisnis Kolaboratif Tionghoa dan Non-Tionghoa

a. Kolonial (1600–1942): Simbiosis Produksi dan Distribusi

Pada masa kolonial, pebisnis Tionghoa berperan sebagai distributor, pemodal, dan eksportir hasil bumi (seperti beras dan kopi), sementara masyarakat Non-Tionghoa lebih banyak berperan sebagai produsen, petani, atau nelayan. Kolaborasi berbentuk kemitraan produksi-distribusi menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Contoh:
Kemitraan antara pedagang Tionghoa dengan petani lokal di Jawa dan Sumatera dalam perdagangan hasil bumi.

b. Era Kemerdekaan (1945–1950): Solidaritas Ekonomi

Di masa perjuangan, peran komunitas Tionghoa bergeser menjadi penyedia modal dan logistik informal untuk pejuang kemerdekaan, membentuk hubungan berbasis kepercayaan dan dukungan nonformal.

c. Orde Lama (1950–1965): Ritel Tradisional

Bisnis ritel dan perdagangan pasar dikuasai oleh Tionghoa sebagai pengelola toko dan jaringan distribusi, bekerja sama dengan mitra lokal yang memiliki akses izin usaha. Kolaborasi ini banyak berbentuk join venture tidak resmi, seperti toko grosir yang bermitra dengan tokoh desa.

d. Orde Baru (1966–1998): Aliansi Bisnis-Politik

Era ini menandai kolaborasi skala besar melalui konglomerasi. Pebisnis Tionghoa menyediakan modal, teknologi, dan manajemen, sementara mitra Non-Tionghoa menyediakan akses politik dan jaringan.
Contoh:
Aliansi antara Salim Group dengan jaringan Usaha Cendana.

e. Era Reformasi (1998–2010): Kemitraan Pemerintah-Bisnis

Muncul format kemitraan formal berbasis B2G (Business-to-Government) dan B2B (Business-to-Business), khususnya dalam pengembangan mall, properti, dan ritel modern.

f. Era Digital (2010–sekarang): Kolaborasi Sosial dan Startup

Era startup memperlihatkan pebisnis Tionghoa berperan sebagai venture capitalist atau CTO/CEO, sementara pebisnis lokal sebagai founder dan komunitas penggerak. Model ini berbasis inklusi sosial dan enterprise berbasis teknologi.
Contoh:
Ruangguru, Sayurbox, Tanihub.


2. Prinsip Bisnis Tionghoa: Fondasi Etika dan Keberlanjutan

Selain model kolaborasi, kekuatan bisnis Tionghoa sangat ditopang oleh tiga prinsip utama yang telah menjadi DNA bisnis mereka, yaitu:

a. Cengli (情理 – Qínglǐ) – Keadilan, Keterbukaan, Kejujuran

Prinsip ini mengutamakan keadilan dan keterbukaan dalam setiap transaksi. Pebisnis yang cengli membangun kepercayaan jangka panjang dengan mitra dan pelanggan.
Contoh:
Menjelaskan kondisi produk secara jujur kepada pelanggan tanpa manipulasi.

b. Cincai (随便 – Suíbiàn) – Fleksibilitas dan Adaptabilitas

Cincai mencerminkan sikap fleksibel dalam bernegosiasi dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi bisnis.
Contoh:
Menyesuaikan jadwal pembayaran kepada supplier demi kelangsungan kerja sama.

c. Cuan (赚 – Zhuàn) – Profitabilitas yang Berkelanjutan

Fokus pada profit bukan sekadar mencari keuntungan sesaat, tetapi memastikan keberlangsungan bisnis dengan prinsip win-win solution bagi semua pihak.
Contoh:
Mengoptimalkan efisiensi operasional untuk memperbesar margin tanpa merugikan mitra kerja.


3. Pembelajaran untuk Pebisnis Indonesia Masa Kini

Dari perjalanan panjang ini, ada tiga pelajaran utama yang dapat diambil:

  • Sinergi yang saling menguntungkan lebih kuat daripada persaingan semata.
  • Fleksibilitas, kejujuran, dan keberlanjutan menjadi kunci bertahan dalam situasi perubahan yang cepat.
  • Adaptasi terhadap era digital dan kolaborasi lintas sektor menjadi kebutuhan utama untuk membangun bisnis masa depan.

Dengan mengadopsi semangat kolaboratif dan prinsip bisnis Tionghoa, para entrepreneur Indonesia memiliki kesempatan besar untuk membangun bisnis yang lebih inklusif, kuat, dan bertahan dalam jangka panjang.

Jika Anda seorang pebisnis atau profesional yang ingin  menemukan potensi terbaik dan membangun Bisnis Anda menjadi lebih berkembang dari saat ini, silakan hubungi Master Coach Margetty Herwin, SBCF Admin WA 0822-4902-3902 Untuk mendapatkan sesi Business Diagnosis Gratis, dan mendapatkan info mengenai jadwal dan topik seminar kami, silakan contact via email ke: [email protected]

coachgetty

Margetty Herwin is a Certified Master Coach of: Life Coach, Executive Coach, Business and Money Coach, NLP Coach, Time Line Therapy, Green Belt Six Sigma Coach, Master Trainer STRATEGYZER Business Model

Related Posts

Leave a Reply